Kali ini akan aku share cerpen karyaku sendiri, Selamat Membaca!!!
SEMURNI
JANJI
Oleh:
M. Khoirul Huda
“Den….,
bangun,” teriak wanita berdaster menuju kamarku.
“Iya
Bi bentar….,” balasku kepada bibi.
“Hari
ini sarapan apa Bi?” tanyaku pada bibi.
“Biasalah
Den, nasi goreng dan telur setengah matang, kesukaan aden,” jawab bibi dengan
penuh semangat.
“Baguslah,
Bibi udah tau sarapan favoritku,” kataku dengan tersenyum kecil.
Aku
sarapan ditemani Bi Minah, ya, pembantu yang mengasuhku sejak kecil, mengapa aku
berkata demikian? Karena sejak kecil mungkin dari bayi aku sudah terbiasa
dengan Bi Minah. Hingga kebiasaannya melebihi kebiasaanku dengan orang tuaku
sendiri.
Perkenalkan
namaku Rendi, umurku 16 tahun, kelas XI SMA, anak dari Bramantyo Aji, seorang
pengusaha sukses sekaligus terkenal asal Bandung, bukannya aku sombong, tetapi
ini memang kenyataan. Rumahku besar, bahkan lebih dari satu, fasilitas serba
ada, mobil banyak dan serba terpenuhi. Tetapi, satu hal yang kurang bahkan
belum terpenuhi, yaitu kasih sayang dan perhatian dari orang tuaku.
“Bi
aku berangkat dulu ya…,” ucapku kepada bibi seperti biasa.
“Cek
dulu perlengkapan sekolah Aden! Kali aja ada yang ketinggalan?” kata bibi
mengingatkanku.
“Sepertinya
sudah lengkap Bi.“ jawabku dengan yakin setelah aku memeriksa tasku.
“Oke
lah, kalau begitu Aden boleh berangkat sekarang.” Kata bibi kepadaku.
“Oke
Bi, terima kasih telah mengingatkan,” ucap terima kasihku kepada bibi.
“Ya
Den, hati-hati!” balas bibi.
Aku
berangkat dengan roda dua tanpa mesin, aku tidak malu, menurutku ini lebih baik
daripada menggunakan mobil mewah. Memang hartaku banyak, tapi itu semua milik orang tuaku, bukan milikku.Sampailah aku
digerbang sekolah. Seperti biasa deretan mobil menyapaku. Di Sekolahku tidak ada
tempat untuk parkir sepeda. Maklumlah namanya juga sekolah favorit. Selain
harus kaya ilmu, harta juga harus kaya. Sebenarnya, Aku tidak mau bersekolah di
sini, isinya hanya pameran kekayaan orang tua. Tetapi karena paksaan orang tua,
akupun harus menyanggupinya. Setiap teman-teman melihatku memakai sepeda,
mereka tersenyum dan muncul cemoohan kecil.
“Hei,
lihat itu satu-satunya siswa yang memakai sepeda di sekolah ini,” bisik salah
seorang siswa kepada temannya.
“Iya,
apa dia nggak malu atau nggak punya malu? Ha…ha…ha…” jawab temannya sambil
tertawa.
“Ssszzzttt….,
nanti dia denger lo,” ujar siswa itu.
“Biarin…,”
jawab temannya acuh tak acuh.
Tetapi, aku menganggapnya sebagai angin lalu.
Mungkin tidak banyak yang tahu bahkan tidak ada yang tahu bahwa aku anak
seorang pengusaha terkenal. Tapi aku berusaha untuk menutupi agar mereka tidak
tahu tentang hal itu. Aku ingin seperti anak-anak yang lain, diperlakukan umum.
Bagiku jabatan dan status di masyarakat bukan segala-galanya.
“Hai
Rendi!” sapa Nita temanku.
“Hai
Nit, ada apa?” tanyaku kepada Nita.
“Nggak
ada apa-apa, nyapa memangnya nggak boleh ya?” jawabnya dengan nada sedikit
kesal.
“Boleh
lah….,” kataku singkat.
Aku
tak tahu mengapa ia menyapaku setiap hari. Apa dia tertarik denganku? Tapi, apa
yang menarik dari diriku? Sekolah naik sepeda, wajah standar, penampilan
sederhana, atau dia sudah tahu kalau aku anak seorang pengusaha terkenal?, ah,
sudahlah aku tidak mau memikirkan hal itu.
Tibalah
pelajaran Fisika, mapel yang menurutku kurang menarik. Mungkin minatku bukan di
Fisika seperti Pak Yohannes Surya. Tapi aku mencoba untuk menyenanginya. Aku
lebih suka ke mapel seni, karena menurutku itu mengasyikkan. Pernah aku diikutkan
O2SN oleh guruku, dan alhasil akupun meraih juara 1 dalam lomba solo vokal.
Tapi itu semua percuma tanpa dukungan orang tuaku. Dan aku tidak pernah memberitahu
tentang semua itu. Mereka sibuk, tidak ada waktu untuk mendengarkan ceritaku.
Mereka sering ke luar kota bahkan ke luar negeri.
Lamunanku
terhenti ketika sepedaku terasa menyentuh sesuatu. Ternyata sebuah bola sepak tepat
di depan sepedaku.
“Maaf
Kak!” ucap bocah polos sambil memungut bola itu.
Seketika
itu, aku menengok ke samping. Rombongan anak mengejar bola kesana-kemari. Kebahagiaan
muncul dari panti asuhan itu. Sederhana, tetapi, kebahagiaan tetap tercipta.
Sedangkan aku hidup serba ada, tapi jauh dari rasa bahagia.
Awan
senja mulai membentang. Burung-burung rindu dengan sarang mereka. Matahari
mengucapkan salam hendak kembali ke peraduan. Bulan mulai mengetuk pintu senja.
Hari ini aku pulang sore, karena ada tugas kelompok yang harus aku selesaikan.
“Den
ini ada telepon,” kata bibi sambil menyodorkan telepon rumah.
“Dari
siapa Bi?” jawabku kurang bersemangat.
”Dari
Tuan,” jawab bibi singkat.
“Bilang
Bi, aku baik-baik saja!” kataku agak membantah.
“Jangan
gitu Den, Tuan ingin bicara sama Aden,” bibi mencoba menegurku.
“Halo
Pa, Rendi baik-baik saja” ucapku dengan papa di telepon, kemudian menutup telepon.
“Aden
kok kayak gitu sih?” tanya bibi heran.
“Biarin
Bi, biar mereka ngerti.” Jawabku singkat.
“Ngerti
apa Den?” tanya bibi penasaran.
“Ada
lah Bi,” jawabku acuh tak acuh.
Aku
kesal dengan papa dan mamaku, mereka hanya mementingkan pekerjaan, pekerjaan
dan pekerjaan. Aku harap dengan begini mereka akan sadar bahwa harta bukan
segalanya, masih banyak sesuatu yang lebih penting dari itu.
***
Hari
ini seperti biasa, aku berangkat sekolah. Hari ini juga seni musik ada praktik
solo vokal. Aku sangat bersemangat untuk hari ini.
“Hai
Nita!” sapaku kepada Nita yang biasanya menyapaku lebih dulu.
“Hai
Rendi, tumben kamu nyapa duluan?” tanya Nita dengan heran.
“Memangnya
nggak boleh ya?” jawabku dengan wajah agak sinis.
“Ah,
kamu bisa saja, ha…ha…ha…” Nita tertawa ketika Rendi mengatakan hal yang sama seperti
Nita kemarin.
“Oh
ya, hari ini ada praktik solo vokal kan? Kamu sudah siap belum?” tanyaku untuk
sekedar basa-basi.
“Sudah dong, aku udah nyiapin lagunya, kalau kamu?”
jawab Nita dengan percaya diri kemudian tanya balik kepadaku.
“Sudah
dong….,“ jawabku dengan yakin.
“Oh
iya, kamu kan jagoan solo vokal.” pujinya kepadaku.
“Ah,
nggak juga,” jawabku rendah hati.
“Kamu
kan pernah juara solo vokal di O2SN, pastinya suara kamu nggak bisa diremehin,”
kata Nita agak sinis.
“Jangan
gitu dong, di sini semuanya nggak ada yang diremehin kok,” kataku pada Nita.
“Oke
lah, aku ngerti kok,” kata Nita mencoba mengerti.
“Baguslah,
yuk masuk kelas!” ajakku kepada Nita.
“Oke
anak-anak, kalian sudah siap kan untuk praktek solo vokal hari ini?” tanya Pak
Wahyu, guru seni musik kami.
“Sudah
Pak” jawab murid-murid dengan tegas dan kompak.
“Saya
minta Rendi untuk mengawali praktik hari ini, karena Rendi pernah menjuarai
O2SN untuk solo vokal. Silahkan Rendi!” minta Pak Wahyu dengan sedikit memaksa.
Aku
mulai gugup. Walaupun pernah juara, tapi rasa gugup untuk bernyanyi di depan
masih ada. Aku mulai melangkah ke depan kelas. Tampak Nita menyemangatiku dari
kursinya. Mulailah aku bernyanyi. Suasana kelas hening. Semua memperhatikanku.
Aku keluarkan kemampuanku semaksimal mungkin. Dan hasilnya, “luar biasa,” ucap
Pak Wahyu memujiku. Teman-temanku bertepuk tangan dan semuanya berdiri. Aku
sangat senang bisa menghibur mereka. Seperti sebuah pagelaran yang sangat
meriah.
Bel
pulang berbunyi, aku bergegas pulang ke rumah. Kudapati mobil papaku di depan rumah.
Dan benar dugaanku, papa pulang dari Singapura. Dia duduk di ruang makan.
Sepertinya mama juga pulang, dia sedang berada di dapur. Aku bergegas menuju
kamar, agar papa tidak melihatku.
“Hai,
Nak!” terdengar suara papa menghentikan langkahku.
“Kamu
kok nggak nyapa papa sama mama? Kamu nggak rindu sama kita atau kamu nggak suka
kita pulang?” tanya papaku dengan wajah sedikit kesal.
“Dua-duanya,
Pa,” jawabku dengan nada kesal.
“Hei,
Nak, kok kamu ngomongnya gitu?” sahut mama.
“Oh,
jadi gitu sekarang, sudah berani sama orang tua?” kata papa dengan nada marah.
“Apa
papa pernah mangajariku untuk nggak berani sama orang tua? Nggak kan, Pa? yang
papa pikirin itu cuma kerja, kerja, dan kerja.” jawabku dengan kesal.
“Asal
kamu tahu, itu semua demi kamu, biaya sekolah kamu, kehidupan kamu” sahut papa mulai
membentakku.
“Aku
ngerti Pa, tapi luangin waktu dong Pa, untuk anak Papa.” jawabku dengan
lantang.
“Papa
kan sudah beri kamu semuanya. Kurang apalagi coba?” kata papa untuk membela
dirinya.
“Aku nggak butuh semua fasilitas ini kok, Pa,
aku hanya butuh perhatian.” Ujarku kepada papa.
“Kamu
nggak butuh semua fasilitas ini kan? Sekarang kamu keluar dari rumah ini!” kata
papa mengusirku.
“Papa
bicara apa sih? Dia kan anak kita, Pa” pembelaan mama kepadaku.
“Baiklah,
aku akan pergi dari sini, maaf kalau bicaraku kurang sopan. Aku akan buktikan
kalau aku bisa sukses tanpa hidup mewah,” janjiku kepada papa dan mama.
Akhirnya
aku meninggalkan rumah dengan penuh penyesalan, mamaku menangis tiada henti.
Tetapi, semua ini harus aku lewati dengan penuh kesabaran.
***
Tak
terasa, sampailah aku di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah.
Entahlah, mengapa aku sampai di tempat ini. Waktu itu aku hanya naik bus malam
dan sama sekali tidak tahu tujuan. Akhirnya, aku memutuskan untuk meraih
kesuksesanku di kota ini.
Sepanjang
jalan kutemui kemeja-kemeja batik, ingin sekali aku membelinya. Pantas jika
kota ini dijuluki sebagai “World’s City of Batik”. Di Bandung jarang sekali
pemandangan seperti ini, tapi sayangnya di sini aku bukan untuk piknik dan
membeli oleh-oleh. Aku terus memandangi kemeja-kemeja itu.
“Kenapa
Dek? Saya lihat dari tadi kamu memandangi kemeja-kemeja itu. Dan sepertinya kamu
asing dengan pemandangan itu?” kata seorang pejalan kaki.
“Iya
Pak, saya bukan orang sini. Saya dari Bandung, dan masih asing melihat
pemandangan seperti ini.” kataku kepada
pejalan kaki itu.
“Oh,
pantesan,” kata orang itu.
“Iya
Pak.” jawabku singkat.
Haripun
mulai larut. Aku sampai di Pekalongan subuh, dan sisanya untuk
keliling-keliling di Kota Batik ini. Kota ini sepertinya cukup aman. Kuputuskan
untuk beristirahat di depan toko, walau beralaskan kardus.
“Kasihan
sekali anak itu,” terdengar suara pejalan kaki sambil menunjukku.
Dan
besok aku berniat untuk mulai mencari kesuksesan.
Hari
demi hari kulewati di Kota Batik, tapi belum juga aku mendapat pekerjaan yang
mapan. Di sini mayoritas membuka usaha konveksi, dan aku tidak bisa menjahit,
menjahit kancingpun belum pernah. Pernah aku bekerja untuk mengemasi kemeja
batik ke dalam plastik dan dibayar 500 rupiah. Tapi itupun aku dipecat, karena
kinerjaku yang lambat. Selain itu, disini juga banyak yang membuka usaha
pembuatan batik tulis dan batik cap. Boro-boro aku bekerja di situ. Lihat
batiknya saja baru beberapa hari yang lalu.
Akhirnya
kuputuskan untuk menjadi musisi jalanan alias pengamen, karena bingung kerja
apa yang harus aku jalani. Hari-hari kulewati sebagai pengamen, hingga suatu saat
aku bertemu dengan seseorang.
“Hei, kamu siapa? Kayaknya anak baru ya di
sini?” tanya pemuda itu.
“Oh
ya, aku Rendi dari Bandung,” aku mencoba memperkenalkan diri dengan sopan.
“Oh,
kok dari Bandung ke sini? Kan jauh?” tanya pemuda itu.
“Ceritanya
panjang,” jawabku singkat.
“Oh
ya, kamu tinggal di mana?” tanya pemuda itu yang ternyata bernama Roni.
“Aku
tinggal di mana saja,” jawabku tetap sopan.
“Maksudnya?
belum ada tempat tinggal?” tanya Roni.
“Ya
begitulah,” jawabku pasrah.
“Kalau
kamu mau, tinggal di tempatku saja bersama pengamen-pengamen lain, di sana
hidup kamu bakal tercukupi. Ya, kayak ada donaturnya gitu, itupun kalau kamu
mau sih,” tawarnya kepadaku.
“Maulah,
pasti. Terimakasih sebelumnya,” jawabku dengan penuh semangat.
“Baiklah,
ayo ikut aku!” ajak Roni kepadaku.
Kamipun
sampai di sebuah rumah mirip panti asuhan.
“Ini
Ron tempatnya? Ini kan kayak panti asuhan?” tanyaku kepada Roni.
“Iya
ini tempatnya, tapi ini bukan panti asuhan, ini adalah yayasan khusus
pengamen-pengamen seperti kita,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
“Roni,
ini siapa?” tanya perempuan tomboi kepada Roni.
“Kenalin
ini Rendi. Rendi, kenalin ini Sari,” Roni mencoba mengenalkan aku dengan Sari.
Setelah
berbincang agak lama, Ibu Yayasan datang.
“Ini
siapa, Ron?” tanya Ibu Yayasan.
“Teman
Roni, Bu, namanya Rendi. Mungkin Dia akan tinggal di sini,” jawab Roni.
“Oh ya, silahkan, tapi beginilah adanya,
namanya juga yayasan,” kata Ibu Yayasan.
“Nggak
apa-apa, Bu, yang penting saya punya tempat tinggal,” jawabku dengan sopan.
“Baiklah,”
kata Ibu Yayasan dengan tersenyum.
Tak
terasa 2 bulan berlalu, rasa rinduku kepada keluarga di Bandung tidak bisa
terelakan. Tapi keluarga di sana sudah mengusirku. Aku harus tetap di sini
hingga kesuksesan itu datang.
***
Suatu
hari yayasan tersebut mengadakan acara. Aku agak bingung dengan acara ini.
“Roni,
ini acara apa sih?” tanyaku penasaran.
“Oh
ini, acara rutin yang diselenggarakan yayasan ini, tujuannya untuk menyaring
pengamen-pengamen yang mempunyai bakat. Sudah 3 kali aku ikut, tapi, belum bisa
lolos. Lumayan juga kalau lolos, Kita bisa diproduserin, bisa dibuatin single
bahkan album,” kata Roni dengan yakin.
“Oh
ya? Aku boleh ikut kan?” tanyaku pada Roni dengan semangat.
“Ikut
saja, kali aja kamu lolos,” kata Roni.
“Peserta
selanjutnya, Rendi,” panggil pembawa acara.
Aku
sangat gugup, yang ada dipikiranku hanya kesuksesan, kesuksesan dan kesuksesan.
Aku melangkah ke panggung. Dan aku mulai bernyanyi.
Setelah
selesai bernyanyi, juri berkata, “luar biasa”. Persis dengan perkataan Pak
Wahyu pada saat praktik solo vokal. Penonton dan juripun berdiri kemudian
bertepuk tangan. Persis seperti praktek solo vokal, bedanya sekarang Aku
bernyanyi di pagelaran yang nyata.
“Anak
didik Ibu sangat berbakat sekali, kalau nggak salah namanya Rendi” kata
Produser Musik itu dengan penuh semangat kepada Ibu Yayasan.
“Itu
bukan anak didik saya, di sini saya hanya menyediakan tempat dan sedikit memberikan
motivasi” sanggah Ibu Yayasan merendahkan hati.
“Saya
ingin sekali memproduserinya” kata produser dengan yakin.
“Dengan
senang hati, tapi untuk persetujuannya, silahkan Bapak konfirmasi dengan Rendi.
Karena keputusan ada di tangannya.” Jawab Ibu Yayasan dengan bijaksana.
“Bagaimana
Rendi, kamu mau saya produserin?” tanya produser itu kepadaku.
“Dengan
senang hati, saya menerimanya. Karena hal itu sudah saya impikan sejak lama,”
jawabku dengan yakin.
“Baiklah,
kami akan buatkan kamu lagu, selanjutnya kamu akan rekaman. Untuk informasi
lebih lanjut, nanti saya akan hubungi kamu lagi.” Kata produser itu.
Dan
atas persetujuanku, Akupun dibuatkan single lagu. Beberapa bulan kemudian
single itu laris terjual. Hingga aku harus pergi ke Jakarta dan meninggalkan
Pekalongan.
“Rendi,
aku akan selalu mengingatmu,” kata Sari dengan raut wajah sedih.
“Iya
Ren, kita akan selalu mengingatmu dan merindukanmu. Suka duka kita jalani
selama beberapa bulan” kata Roni penuh haru.
“Teman-teman,
kalian adalah sahabat terbaikku. Aku akan selalu mengingat dan merindukan kalian,”
janjiku kepada teman-teman di yayasan.
“Terima
kasih atas partisipasimu di yayasan ini Rendi,” kata Ibu yayasan.
“Iya
Bu, sama-sama. Maaf jika selama ini ada perkataan atau perbuatan yang kurang
berkenan,” kataku dengan sopan.
Memang
berat, tapi harus aku jalani demi rencana pembuatan album perdanaku.
Satu
tahun kemudian, aku berhasil menyelesaikan albumku. Dan tak ku sangka, albumku
sangat digemari para remaja. Hingga akhirnya aku menjadi seorang entertain
professional. Dan Sari, sahabatku, aku undang ke Jakarta untuk aku angkat
sebagai managerku, untuk mengatur jadwalku yang mulai padat, sedangkan Roni aku
undang untuk menjadi supir pribadiku.
Dibalik
kesuksesanku ini, aku sempatkan untuk mengunjungi keluargaku di Bandung, aku
berniat untuk meminta maaf kepada mereka. Akhirnya aku sampai di rumah. Saat
pintu dibuka, Aku langsung disambut pelukan hangat dari papa.
“Rendi,
kamu kemana saja, Nak? Maafkan papa ya, Nak?” kata papa dengan tangisan kecil.
“Tenang
Pa, Rendi sudah ada di sini. Rendi juga minta maaf ya, Pa,” kataku dengan penuh
haru.
“Ma,
maafin Rendi ya,” ucapku pada Mama.
“Iya
Nak, kamu tidak salah. Kami yang salah.” Kata Mama kepadaku.
“Iya
Ren, sekarang papa sadar harta bukan segalanya. Harta terbesar adalah anakku,
keluargaku.” Kata papa penuh penyesalan.
“Den
Rendi kemana saja sih? Bibi kangen nih sama Aden,” tanya Bibi sambil tertawa
kecil.
“Ah,
Bibi, pake kangen-kangenan segala,” ujarku pada Bibi sambil tersenyum.
Suasana
haru menyelimuti keluargaku di Bandung. Mama yang sudah lega melihatku pulang, Papa
yang sudah sadar akan kesalahannya. Dan Bi Minah yang juga merindukanku.
“Cie…
Aden, sekarang udah jadi penyanyi terkenal?” ujar Bibi di sela-sela
pembicaraan.
“Apa
sih Bi?, bisa aja nih Bibi,” jawabku sedikit malu.
“Nanti
bibi ikut ya Den, kalau Aden manggung atau shooting, he…he…he…” kata Bibi
dengan semangat.
“Emang
Bibi mau ngapain?” tanyaku singkat.
“Kali
aja Bibi bisa jadi artis dadakan, he…he…he…” jawab Bibi terus terang.
“Pasang
video aja Bi di Youtube.” Ujarku kepada bibi.
“Youtube
apaan Den?” Tanya bibi dengan percaya diri.
“Ah
Bibi nggak gaul nih,” jawabku sambil tersenyum.
“Yaelah,
Aden… Aden…” kata bibi sambil menggelengkan kepala.
Papa
sekarang sudah menjadi seorang wirausahawan, yang kerjanya kebanyakan di rumah.
Aku bertekad akan membuat rumah di Jakarta dan akan membawa seluruh keluargaku
ke sana. Selain itu, aku juga akan melanjutkan pendidikanku hingga tingkat
strata satu, kalau bisa agar sampai strata dua, karena aku sadar kesuksesan
sebagai seorang entertain tak bisa kujalani sepanjang hayatku dan pendidikan
sangatlah penting untuk kehidupanku.
“Pa,
Ma, aku sudah buktikan, bahwa aku bisa sukses tanpa hidup mewah”.