Saturday, April 5, 2014

Semurni Janji - Cerpen pada Kemah Pendidikan Karakter Bangsa SMA Jateng 2013



Kali ini akan aku share cerpen karyaku sendiri, Selamat Membaca!!!

SEMURNI JANJI
Oleh: M. Khoirul Huda

“Den…., bangun,” teriak wanita berdaster menuju kamarku.
“Iya Bi bentar….,” balasku kepada bibi.
Aku bergegas bangun dari tempat peristirahatanku. Aku segera mandi dan siap menuju sekolah.
“Hari ini sarapan apa Bi?” tanyaku pada bibi.
“Biasalah Den, nasi goreng dan telur setengah matang, kesukaan aden,” jawab bibi dengan penuh semangat.
“Baguslah, Bibi udah tau sarapan favoritku,” kataku dengan tersenyum kecil.
Aku sarapan ditemani Bi Minah, ya, pembantu yang mengasuhku sejak kecil, mengapa aku berkata demikian? Karena sejak kecil mungkin dari bayi aku sudah terbiasa dengan Bi Minah. Hingga kebiasaannya melebihi kebiasaanku dengan orang tuaku sendiri.
Perkenalkan namaku Rendi, umurku 16 tahun, kelas XI SMA, anak dari Bramantyo Aji, seorang pengusaha sukses sekaligus terkenal asal Bandung, bukannya aku sombong, tetapi ini memang kenyataan. Rumahku besar, bahkan lebih dari satu, fasilitas serba ada, mobil banyak dan serba terpenuhi. Tetapi, satu hal yang kurang bahkan belum terpenuhi, yaitu kasih sayang dan perhatian dari orang tuaku.
“Bi aku berangkat dulu ya…,” ucapku kepada bibi seperti biasa.
“Cek dulu perlengkapan sekolah Aden! Kali aja ada yang ketinggalan?” kata bibi mengingatkanku.
“Sepertinya sudah lengkap Bi.“ jawabku dengan yakin setelah aku memeriksa tasku.
“Oke lah, kalau begitu Aden boleh berangkat sekarang.” Kata bibi kepadaku.
“Oke Bi, terima kasih telah mengingatkan,” ucap terima kasihku kepada bibi.
“Ya Den, hati-hati!” balas bibi.
Aku berangkat dengan roda dua tanpa mesin, aku tidak malu, menurutku ini lebih baik daripada menggunakan mobil mewah. Memang hartaku banyak, tapi itu semua milik  orang tuaku, bukan milikku.Sampailah aku digerbang sekolah. Seperti biasa deretan mobil menyapaku. Di Sekolahku tidak ada tempat untuk parkir sepeda. Maklumlah namanya juga sekolah favorit. Selain harus kaya ilmu, harta juga harus kaya. Sebenarnya, Aku tidak mau bersekolah di sini, isinya hanya pameran kekayaan orang tua. Tetapi karena paksaan orang tua, akupun harus menyanggupinya. Setiap teman-teman melihatku memakai sepeda, mereka tersenyum dan muncul cemoohan kecil.
“Hei, lihat itu satu-satunya siswa yang memakai sepeda di sekolah ini,” bisik salah seorang siswa kepada temannya.
“Iya, apa dia nggak malu atau nggak punya malu? Ha…ha…ha…” jawab temannya sambil tertawa.
“Ssszzzttt…., nanti dia denger lo,” ujar siswa itu.
“Biarin…,” jawab temannya acuh tak acuh.
 Tetapi, aku menganggapnya sebagai angin lalu. Mungkin tidak banyak yang tahu bahkan tidak ada yang tahu bahwa aku anak seorang pengusaha terkenal. Tapi aku berusaha untuk menutupi agar mereka tidak tahu tentang hal itu. Aku ingin seperti anak-anak yang lain, diperlakukan umum. Bagiku jabatan dan status di masyarakat bukan segala-galanya.
“Hai Rendi!” sapa Nita temanku.
“Hai Nit, ada apa?” tanyaku kepada Nita.
“Nggak ada apa-apa, nyapa memangnya nggak boleh ya?” jawabnya dengan nada sedikit kesal.
“Boleh lah….,” kataku singkat.
Aku tak tahu mengapa ia menyapaku setiap hari. Apa dia tertarik denganku? Tapi, apa yang menarik dari diriku? Sekolah naik sepeda, wajah standar, penampilan sederhana, atau dia sudah tahu kalau aku anak seorang pengusaha terkenal?, ah, sudahlah aku tidak mau memikirkan hal itu.
Tibalah pelajaran Fisika, mapel yang menurutku kurang menarik. Mungkin minatku bukan di Fisika seperti Pak Yohannes Surya. Tapi aku mencoba untuk menyenanginya. Aku lebih suka ke mapel seni, karena menurutku itu mengasyikkan. Pernah aku diikutkan O2SN oleh guruku, dan alhasil akupun meraih juara 1 dalam lomba solo vokal. Tapi itu semua percuma tanpa dukungan orang tuaku. Dan aku tidak pernah memberitahu tentang semua itu. Mereka sibuk, tidak ada waktu untuk mendengarkan ceritaku. Mereka sering ke luar kota bahkan ke luar negeri.
Lamunanku terhenti ketika sepedaku terasa menyentuh sesuatu. Ternyata sebuah bola sepak tepat di depan sepedaku.
“Maaf Kak!” ucap bocah polos sambil memungut bola itu.
Seketika itu, aku menengok ke samping. Rombongan anak mengejar bola kesana-kemari. Kebahagiaan muncul dari panti asuhan itu. Sederhana, tetapi, kebahagiaan tetap tercipta. Sedangkan aku hidup serba ada, tapi jauh dari rasa bahagia.
Awan senja mulai membentang. Burung-burung rindu dengan sarang mereka. Matahari mengucapkan salam hendak kembali ke peraduan. Bulan mulai mengetuk pintu senja. Hari ini aku pulang sore, karena ada tugas kelompok yang harus aku selesaikan.
“Den ini ada telepon,” kata bibi sambil menyodorkan telepon rumah.
“Dari siapa Bi?” jawabku kurang bersemangat.
”Dari Tuan,” jawab bibi singkat.
“Bilang Bi, aku baik-baik saja!” kataku agak membantah.
“Jangan gitu Den, Tuan ingin bicara sama Aden,” bibi mencoba menegurku.
“Halo Pa, Rendi baik-baik saja” ucapku dengan papa di telepon, kemudian menutup telepon.
“Aden kok kayak gitu sih?” tanya bibi heran.
“Biarin Bi, biar mereka ngerti.” Jawabku singkat. 
“Ngerti apa Den?” tanya bibi penasaran.
“Ada lah Bi,” jawabku acuh tak acuh.
Aku kesal dengan papa dan mamaku, mereka hanya mementingkan pekerjaan, pekerjaan dan pekerjaan. Aku harap dengan begini mereka akan sadar bahwa harta bukan segalanya, masih banyak sesuatu yang lebih penting dari itu.
***
Hari ini seperti biasa, aku berangkat sekolah. Hari ini juga seni musik ada praktik solo vokal. Aku sangat bersemangat untuk hari ini.
“Hai Nita!” sapaku kepada Nita yang biasanya menyapaku lebih dulu.
“Hai Rendi, tumben kamu nyapa duluan?” tanya Nita dengan heran.
“Memangnya nggak boleh ya?” jawabku dengan wajah agak sinis.
“Ah, kamu bisa saja, ha…ha…ha…” Nita tertawa ketika Rendi mengatakan hal yang sama seperti Nita kemarin.
“Oh ya, hari ini ada praktik solo vokal kan? Kamu sudah siap belum?” tanyaku untuk sekedar basa-basi.
 “Sudah dong, aku udah nyiapin lagunya, kalau kamu?” jawab Nita dengan percaya diri kemudian tanya balik kepadaku.
“Sudah dong….,“ jawabku dengan yakin.
“Oh iya, kamu kan jagoan solo vokal.” pujinya kepadaku.
“Ah, nggak juga,” jawabku rendah hati.
“Kamu kan pernah juara solo vokal di O2SN, pastinya suara kamu nggak bisa diremehin,” kata Nita agak sinis.
“Jangan gitu dong, di sini semuanya nggak ada yang diremehin kok,” kataku pada Nita.
“Oke lah, aku ngerti kok,” kata Nita mencoba mengerti.
“Baguslah, yuk masuk kelas!” ajakku kepada Nita.
“Oke anak-anak, kalian sudah siap kan untuk praktek solo vokal hari ini?” tanya Pak Wahyu, guru seni musik kami.
“Sudah Pak” jawab murid-murid dengan tegas dan kompak.
“Saya minta Rendi untuk mengawali praktik hari ini, karena Rendi pernah menjuarai O2SN untuk solo vokal. Silahkan Rendi!” minta Pak Wahyu dengan sedikit memaksa.
Aku mulai gugup. Walaupun pernah juara, tapi rasa gugup untuk bernyanyi di depan masih ada. Aku mulai melangkah ke depan kelas. Tampak Nita menyemangatiku dari kursinya. Mulailah aku bernyanyi. Suasana kelas hening. Semua memperhatikanku. Aku keluarkan kemampuanku semaksimal mungkin. Dan hasilnya, “luar biasa,” ucap Pak Wahyu memujiku. Teman-temanku bertepuk tangan dan semuanya berdiri. Aku sangat senang bisa menghibur mereka. Seperti sebuah pagelaran yang sangat meriah.
Bel pulang berbunyi, aku bergegas pulang ke rumah. Kudapati mobil papaku di depan rumah. Dan benar dugaanku, papa pulang dari Singapura. Dia duduk di ruang makan. Sepertinya mama juga pulang, dia sedang berada di dapur. Aku bergegas menuju kamar, agar papa tidak melihatku.
“Hai, Nak!” terdengar suara papa menghentikan langkahku.
“Kamu kok nggak nyapa papa sama mama? Kamu nggak rindu sama kita atau kamu nggak suka kita pulang?” tanya papaku dengan wajah sedikit kesal.
“Dua-duanya, Pa,” jawabku dengan nada kesal.
“Hei, Nak, kok kamu ngomongnya gitu?” sahut mama.
“Oh, jadi gitu sekarang, sudah berani sama orang tua?” kata papa dengan nada marah.
“Apa papa pernah mangajariku untuk nggak berani sama orang tua? Nggak kan, Pa? yang papa pikirin itu cuma kerja, kerja, dan kerja.” jawabku dengan kesal.
“Asal kamu tahu, itu semua demi kamu, biaya sekolah kamu, kehidupan kamu” sahut papa mulai membentakku.
“Aku ngerti Pa, tapi luangin waktu dong Pa, untuk anak Papa.” jawabku dengan lantang.
“Papa kan sudah beri kamu semuanya. Kurang apalagi coba?” kata papa untuk membela dirinya.
 “Aku nggak butuh semua fasilitas ini kok, Pa, aku hanya butuh perhatian.” Ujarku kepada papa.
“Kamu nggak butuh semua fasilitas ini kan? Sekarang kamu keluar dari rumah ini!” kata papa mengusirku.
“Papa bicara apa sih? Dia kan anak kita, Pa” pembelaan mama kepadaku.
“Baiklah, aku akan pergi dari sini, maaf kalau bicaraku kurang sopan. Aku akan buktikan kalau aku bisa sukses tanpa hidup mewah,” janjiku kepada papa dan mama.
Akhirnya aku meninggalkan rumah dengan penuh penyesalan, mamaku menangis tiada henti. Tetapi, semua ini harus aku lewati dengan penuh kesabaran.
***
Tak terasa, sampailah aku di Pekalongan, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Entahlah, mengapa aku sampai di tempat ini. Waktu itu aku hanya naik bus malam dan sama sekali tidak tahu tujuan. Akhirnya, aku memutuskan untuk meraih kesuksesanku di kota ini.
Sepanjang jalan kutemui kemeja-kemeja batik, ingin sekali aku membelinya. Pantas jika kota ini dijuluki sebagai “World’s City of Batik”. Di Bandung jarang sekali pemandangan seperti ini, tapi sayangnya di sini aku bukan untuk piknik dan membeli oleh-oleh. Aku terus memandangi kemeja-kemeja itu.
“Kenapa Dek? Saya lihat dari tadi kamu memandangi kemeja-kemeja itu. Dan sepertinya kamu asing dengan pemandangan itu?” kata seorang pejalan kaki.
“Iya Pak, saya bukan orang sini. Saya dari Bandung, dan masih asing melihat pemandangan seperti ini.” kataku kepada pejalan kaki itu.
“Oh, pantesan,” kata orang itu.
“Iya Pak.” jawabku singkat.
Haripun mulai larut. Aku sampai di Pekalongan subuh, dan sisanya untuk keliling-keliling di Kota Batik ini. Kota ini sepertinya cukup aman. Kuputuskan untuk beristirahat di depan toko, walau beralaskan kardus.
“Kasihan sekali anak itu,” terdengar suara pejalan kaki sambil menunjukku.
Dan besok aku berniat untuk mulai mencari kesuksesan.
Hari demi hari kulewati di Kota Batik, tapi belum juga aku mendapat pekerjaan yang mapan. Di sini mayoritas membuka usaha konveksi, dan aku tidak bisa menjahit, menjahit kancingpun belum pernah. Pernah aku bekerja untuk mengemasi kemeja batik ke dalam plastik dan dibayar 500 rupiah. Tapi itupun aku dipecat, karena kinerjaku yang lambat. Selain itu, disini juga banyak yang membuka usaha pembuatan batik tulis dan batik cap. Boro-boro aku bekerja di situ. Lihat batiknya saja baru beberapa hari yang lalu.
Akhirnya kuputuskan untuk menjadi musisi jalanan alias pengamen, karena bingung kerja apa yang harus aku jalani. Hari-hari kulewati sebagai pengamen, hingga suatu saat aku bertemu dengan seseorang.
 “Hei, kamu siapa? Kayaknya anak baru ya di sini?” tanya pemuda itu.
“Oh ya, aku Rendi dari Bandung,” aku mencoba memperkenalkan diri dengan sopan.
“Oh, kok dari Bandung ke sini? Kan jauh?” tanya pemuda itu.
“Ceritanya panjang,” jawabku singkat.
“Oh ya, kamu tinggal di mana?” tanya pemuda itu yang ternyata bernama Roni.
“Aku tinggal di mana saja,” jawabku tetap sopan.
“Maksudnya? belum ada tempat tinggal?” tanya Roni.
“Ya begitulah,” jawabku pasrah.
“Kalau kamu mau, tinggal di tempatku saja bersama pengamen-pengamen lain, di sana hidup kamu bakal tercukupi. Ya, kayak ada donaturnya gitu, itupun kalau kamu mau sih,” tawarnya kepadaku.
“Maulah, pasti. Terimakasih sebelumnya,” jawabku dengan penuh semangat.
“Baiklah, ayo ikut aku!” ajak Roni kepadaku.
Kamipun sampai di sebuah rumah mirip panti asuhan.
“Ini Ron tempatnya? Ini kan kayak panti asuhan?” tanyaku kepada Roni.
“Iya ini tempatnya, tapi ini bukan panti asuhan, ini adalah yayasan khusus pengamen-pengamen seperti kita,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
“Roni, ini siapa?” tanya perempuan tomboi kepada Roni.
“Kenalin ini Rendi. Rendi, kenalin ini Sari,” Roni mencoba mengenalkan aku dengan Sari.
Setelah berbincang agak lama, Ibu Yayasan datang.
“Ini siapa, Ron?” tanya Ibu Yayasan.
“Teman Roni, Bu, namanya Rendi. Mungkin Dia akan tinggal di sini,” jawab Roni.
 “Oh ya, silahkan, tapi beginilah adanya, namanya juga yayasan,” kata Ibu Yayasan.
“Nggak apa-apa, Bu, yang penting saya punya tempat tinggal,” jawabku dengan sopan.
“Baiklah,” kata Ibu Yayasan dengan tersenyum.
Tak terasa 2 bulan berlalu, rasa rinduku kepada keluarga di Bandung tidak bisa terelakan. Tapi keluarga di sana sudah mengusirku. Aku harus tetap di sini hingga kesuksesan itu datang.
***
Suatu hari yayasan tersebut mengadakan acara. Aku agak bingung dengan acara ini.
“Roni, ini acara apa sih?” tanyaku penasaran.
“Oh ini, acara rutin yang diselenggarakan yayasan ini, tujuannya untuk menyaring pengamen-pengamen yang mempunyai bakat. Sudah 3 kali aku ikut, tapi, belum bisa lolos. Lumayan juga kalau lolos, Kita bisa diproduserin, bisa dibuatin single bahkan album,” kata Roni dengan yakin.
“Oh ya? Aku boleh ikut kan?” tanyaku pada Roni dengan semangat.
“Ikut saja, kali aja kamu lolos,” kata Roni.
“Peserta selanjutnya, Rendi,” panggil pembawa acara.
Aku sangat gugup, yang ada dipikiranku hanya kesuksesan, kesuksesan dan kesuksesan. Aku melangkah ke panggung. Dan aku mulai bernyanyi.
Setelah selesai bernyanyi, juri berkata, “luar biasa”. Persis dengan perkataan Pak Wahyu pada saat praktik solo vokal. Penonton dan juripun berdiri kemudian bertepuk tangan. Persis seperti praktek solo vokal, bedanya sekarang Aku bernyanyi di pagelaran yang nyata.
“Anak didik Ibu sangat berbakat sekali, kalau nggak salah namanya Rendi” kata Produser Musik itu dengan penuh semangat kepada Ibu Yayasan.
“Itu bukan anak didik saya, di sini saya hanya menyediakan tempat dan sedikit memberikan motivasi” sanggah Ibu Yayasan merendahkan hati.
“Saya ingin sekali memproduserinya” kata produser dengan yakin.
“Dengan senang hati, tapi untuk persetujuannya, silahkan Bapak konfirmasi dengan Rendi. Karena keputusan ada di tangannya.” Jawab Ibu Yayasan dengan bijaksana.
“Bagaimana Rendi, kamu mau saya produserin?” tanya produser itu kepadaku.
“Dengan senang hati, saya menerimanya. Karena hal itu sudah saya impikan sejak lama,” jawabku dengan yakin.
“Baiklah, kami akan buatkan kamu lagu, selanjutnya kamu akan rekaman. Untuk informasi lebih lanjut, nanti saya akan hubungi kamu lagi.” Kata produser itu.
Dan atas persetujuanku, Akupun dibuatkan single lagu. Beberapa bulan kemudian single itu laris terjual. Hingga aku harus pergi ke Jakarta dan meninggalkan Pekalongan.
“Rendi, aku akan selalu mengingatmu,” kata Sari dengan raut wajah sedih.
“Iya Ren, kita akan selalu mengingatmu dan merindukanmu. Suka duka kita jalani selama beberapa bulan” kata Roni penuh haru.
“Teman-teman, kalian adalah sahabat terbaikku. Aku akan selalu mengingat dan merindukan kalian,” janjiku kepada teman-teman di yayasan.
“Terima kasih atas partisipasimu di yayasan ini Rendi,” kata Ibu yayasan.
“Iya Bu, sama-sama. Maaf jika selama ini ada perkataan atau perbuatan yang kurang berkenan,” kataku dengan sopan.
Memang berat, tapi harus aku jalani demi rencana pembuatan album perdanaku.
Satu tahun kemudian, aku berhasil menyelesaikan albumku. Dan tak ku sangka, albumku sangat digemari para remaja. Hingga akhirnya aku menjadi seorang entertain professional. Dan Sari, sahabatku, aku undang ke Jakarta untuk aku angkat sebagai managerku, untuk mengatur jadwalku yang mulai padat, sedangkan Roni aku undang untuk menjadi supir pribadiku.
Dibalik kesuksesanku ini, aku sempatkan untuk mengunjungi keluargaku di Bandung, aku berniat untuk meminta maaf kepada mereka. Akhirnya aku sampai di rumah. Saat pintu dibuka, Aku langsung disambut pelukan hangat dari papa.
“Rendi, kamu kemana saja, Nak? Maafkan papa ya, Nak?” kata papa dengan tangisan kecil.
“Tenang Pa, Rendi sudah ada di sini. Rendi juga minta maaf ya, Pa,” kataku dengan penuh haru.
“Ma, maafin Rendi ya,” ucapku pada Mama.
“Iya Nak, kamu tidak salah. Kami yang salah.” Kata Mama kepadaku.
“Iya Ren, sekarang papa sadar harta bukan segalanya. Harta terbesar adalah anakku, keluargaku.” Kata papa penuh penyesalan.
“Den Rendi kemana saja sih? Bibi kangen nih sama Aden,” tanya Bibi sambil tertawa kecil.
“Ah, Bibi, pake kangen-kangenan segala,” ujarku pada Bibi sambil tersenyum.
Suasana haru menyelimuti keluargaku di Bandung. Mama yang sudah lega melihatku pulang, Papa yang sudah sadar akan kesalahannya. Dan Bi Minah yang juga merindukanku.
“Cie… Aden, sekarang udah jadi penyanyi terkenal?” ujar Bibi di sela-sela pembicaraan.
“Apa sih Bi?, bisa aja nih Bibi,” jawabku sedikit malu.
“Nanti bibi ikut ya Den, kalau Aden manggung atau shooting, he…he…he…” kata Bibi dengan semangat.
“Emang Bibi mau ngapain?” tanyaku singkat.
“Kali aja Bibi bisa jadi artis dadakan, he…he…he…” jawab Bibi terus terang.
“Pasang video aja Bi di Youtube.” Ujarku kepada bibi.
“Youtube apaan Den?” Tanya bibi dengan percaya diri.
“Ah Bibi nggak gaul nih,” jawabku sambil tersenyum.
“Yaelah, Aden… Aden…” kata bibi sambil menggelengkan kepala.
Papa sekarang sudah menjadi seorang wirausahawan, yang kerjanya kebanyakan di rumah. Aku bertekad akan membuat rumah di Jakarta dan akan membawa seluruh keluargaku ke sana. Selain itu, aku juga akan melanjutkan pendidikanku hingga tingkat strata satu, kalau bisa agar sampai strata dua, karena aku sadar kesuksesan sebagai seorang entertain tak bisa kujalani sepanjang hayatku dan pendidikan sangatlah penting untuk kehidupanku.
“Pa, Ma, aku sudah buktikan, bahwa aku bisa sukses tanpa hidup mewah”.